by Yusuf Mansyur
Susurilah cinta yang hilang di jalan iman. Buanglah kerikil ego yang
menghalangi. Sebab ego hanya membina tembok pemisah di antara dua
hati walaupun fisik masih hidup sebumbung. Mungkin di khalayak ramai,
masih tersenyum dan mampu ‘menyamar’ sebagai pasangan yang ideal
tetapi hati masing-masing TST (tahu sama tahu), di mana kemesraan
sudah tiada lagi.
Pasangan yang begitu, boleh menipu
orang lain. Namun, mampukah mereka menipu diri sendiri? Yang retak
akhirnya terbelah. Penceraian berlaku. Mereka berpisah. Masyarakat
yang melihat dari jauh pelik, mengapa begitu mesra tiba-tiba berpisah?
Tidak ada kilat, tidak ada guntur, tiba-tiba ribut melanda. Oh,
mereka tertipu. Perpaduan yang mereka lihat selama ini hanyalah
sinetron.
Allah membongkar rahasia ini dalam firman-Nya:
“Kamu lihat saja mereka bersatu tetapi hati mereka berpecah.”
Carilah
di mana Allah di dalam rumah tangga mu. Apakah Allah masih
dibesarkan dalam solat yang kau dirikan bersama ahli keluarga mu?
Apakah sudah lama rumah mu telah menjadi pusara akibat kegersangan
dzikir dan suara bacaan al-Quran? Apakah sudah luput majelis ilmu
yang menjadi tonggak dalam rumah tanggamu? Di mana pesan-pesan iman
dan wasiat taqwa yang menjadi penawar ujian kebosanan, kejemuan dan
keletihan ini?
Penyakit ego akan senantiasa menimpa jika
hati sudah tidak terasa lagi kebesaran Allah. Orang yang ego hanya
melihat kebesaran dirinya lalu memandang hina pasangannya. Hati yang
ego itu haruslah segera dibasuh kembali dengan rasa bertauhid
menelusuri ibadah-ibadah --khususnya melalui shalat, membaca
al-Quran, berzikir, bersedekah– dan yang paling penting adalah
majelis ilmu.
Allah berfirman:
“Dan berilah peringatan. Sesungguhnya peringatan itu memberi manfaat kepada orang mukmin.” (Adz-Dzariyat ayat 55)
Sedangkan
orang mukmin saja perlu diperingatkan, apatah lagi kita yang belum
mukmin? Iman itu, seperti yang dimaksudkan hadits, boleh bertmbah dan
berkurang. Untuk memastikan ia sentiasa bertahan atau bertambah, hati
perlu bermujahadah. Lawan hawa nafsu yang mengajak kepada
ketakaburan dengan mengingat bahwa Allah sangat membenci kepada orang
yang takabur, walaupun sasaran takabur itu adalah suami atau isteri
sendiri.
Bila terasa bersalah, jangan malu mengaku
salah. Segeranya mengakuinya dan hulurkan kata meminta maaf. Ular
yang menyusur akar tidak akan hilang bisanya. Begitulah suami yang
meminta maaf kepada isterinya. Dia tidak akan hilang kewibawaannya
bahkan akan bertambah tinggi. Bukankah orang yang merendahkan diri
akan ditinggikan Allah derajat dan martabatnya? Lunturkan ego diri
dengan membiasakan diri meminta maaf.
Tidak masalah ketika kita rasa kita adalah yang benar, lebih-lebih lagi apabila jika kita yang bersalah.
Ini
juga berlaku pada para lelaki. Lelaki yang “tewas” ialah lelaki yang
sukar mengaku salah dan senantiasa tidak ingin mengalah. Saat itulah
dia telah memiliki salah satu dari tiga ciri takabur, yakni menolak
adanya kebenaran.
Akuilah kebenaran walaupun kebenaran
itu berada di pihak isteri. Tunduk kepada kebenaran artinya tunduk
kepada Allah. Jangan bimbang hanya karena takut dikatakan “laki-laki
takut isteri”. Kita hanya takut pada Allah. Sebab Allah sangat membenci
orang yang
takabur.
Begitu juga
isteri. Jika sudah terbukti bersalah, akui sajalah. Dalam pertelagaan
antara suami dan isteri, apakah penting siapa yang menang, atau siapa
yang kalah?
Kita berada di dalam gelanggang rumah
tangga bukan berada di ruang mahkamah. Kesalahan suami adalah kesalahan
kita juga dan begitulah sebaliknya. Rumah tangga wadah segalanya.
Perkawinan adalah suatu hubungan, bukan satu persaingan. Andai kita
“menang” pun, lantas apa gunanya? Padahal, kita akan terus hidup
bersama, tidur sebantal dan berteduh di bawah naungan yang sama.
Mujahadahlah sekuat-kuatnya menentang ego ini. Bisikan
selalu di hati, bahwa Allah selalu mencintai orang yang merendah diri
dan Allah sangat membenci orang yang tinggi diri. Pandanglah pasangan
kita sebagai sahabat yang paling rapat. Kita dan dia hakikatnya
satu. Ya, hati kita masih dua, tetapi dengan iman ia menjadi satu.
Bukan satu dari segi bilangannya, tetapi satu dari segi rasa.
Sekali lagi, ingatlah satu hal, hanya dengan iman,
takabur akan luntur dan cinta akan subur!.
Jika
paku boleh berkarat, semen boleh retak, maka begitulah iman, ia juga
akan naik dan menurun. Iman itu ada “virusnya”. Virus iman ialah ego
(
takabur). Jangan ada takabur, karena cinta pasti hancur. Orang
takabur merasa
dirinya lebih mulia dan pasangannya lebih hina. Jika demikian,
manakah ada cinta? Cinta itu ibarat dua tangan yang saling
bersentuhan. Tidak ada tangan yang lebih bersih. Dengan bersentuhan,
keduanya saling membersihkan.
“Kau isteri, aku suami”,
“Aku ketua, kau pengikutnya”, “Aku putuskan, kau hanya ikut saja”,
“Jangan coba-coba menentang!”, begitulah ego dan rasa
takabur itu. Akibat
takabur, istri
tak berkutik tanpa boleh bersuara. Sedikit bicara saja ia sudah
dibentak. Senyap-senyap, isteri menyimpan rasa dendam. Suami
‘disabotase’ dalam diam. Tegur suami, dijawabnya acuh tak acuh. Senyum
yang semula bak mawar akhirnya menjadi tawar dan hambar.
Perlahan-lahan, jarak hati semakin jauh dan cinta semakin rapuh.
Ada
pula isteri yang tak kalah ego. Tidak jarang meninggikan suara.
Kesalahan suami yang sedikit saja bisa menjadi urusan panjang. Anak-anak
ditelantarkan dan dapur dibiarkan berserakan. “Rasakan akibatnya
jika berani menentang aku,” bagitu dalam hatinya.
“Mengaku
salah tidak sekali. Minta maaf, pantang sekali,” begitu istilah
Malaysia bagi orang yang enggan mengaku salah dan tidak mahu meminta
maaf.
Karena ego, pasangan suami-istri sering silap di
luar batas. Suara yang meninggi, pintu yang di dihempaskan dengan
kuat,atau hardikan pada sang isteri di hadapan anak-anak. Ada juga
suami yang menghardik isteri di hadapan saudara bahkan tamunya yang
datang.
Para istri juga punya ego. Mungkin karena
merasa tidak sekuasa suami, atau tak memiliki keberanian, si isteri
menunjukkan egonya dengan bermacam-macam-macam ragam. Mungkin karena
tak ada kebaranian berkacak pinggang di depan suami, ia akan
memalingkan badan dan mukanya ketika di tempat tidur.
Alhasil, cuaca rumah tangga menjadi muram. Rumah hanya jadi
house tidak jadi
home lagi. Tidak ada keceriaan, kehidupan dan manis dan kelembutan lagi. Semuanya bungkam. Ya, rumah (
house) hanya sebuah bangungan yang didirikan dari bahan batu, kayu dan semen. Sementara rumah tangga (
home) dibina dengan kasih sayang, cinta dan sikap saling menghormati.
Tidak
ada rindu yang menanti suami ketika pulang dari bekerja. Tidak ada
kasih yang hendak dicurahkan oleh suami kepada isteri yang menanti di
rumah. Anak-anak tak lagi memiki kegairahan hidup.
Jaman
sekarang disaat peradaban jauh dari nilai keislaman dan keimanan,
dan banyaknya pemalingan dari nilai-nilai akidah, dimana kehidupan ini
sebenarnya hanya milik Allah, kita semua harus senantiasa menjaga
diri beserta keluarga, menghamba kepada Allah, memegang Qur'an dan
Sunnah, ikutilan tuntunan Nabi dan para shahabatnya karena itulah
cahaya, dan merekalah sepantasnya harus diikutin tanpa banyak nanya,
mengeluh, dan merasa susah, karena itu karena mungkin kita kelamaan
dijajah oleh jaman modernisasi yang bila tidak pintar-pintar memilah
dan memilih kita senantiasa dalam kelalaian ini, padahal menjaga diri
beserta keluarga itulah bagian dari ibadah, bagian dari kewajiban kita
mengikuti hidayah Allah, sebagai bukti penyembahan dan kepatuhan
seorang hamba kepada Robb-Nya didalam kehidupan yang fana ini.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/yusuf-mansur-network/cinta-dan-egois-dalam-rumahtangga/10150386860060210